Friday, November 25, 2016

Candu

Langit adalah candu, tak hanya ketika jenuh melanda. Langit adalah canduku, kala bumi berputar lambat. Langit adalah canduku, ketika bumi tak mampu mengertiku. 

Baru saja ku mendapat jawaban besar, dari tanyaku bertahun yang lalu. Bodohnya, kupikir semua tanyaku sudah terjawab. Padahal jika dituliskan, kurasa langit pun tak sanggup menampung semua tanyaku. Mengapa ini lah, mengapa itu lah, bagaimana bisa lah, apakah mungkin lah, implikasi ini itu lah, apa lah. Apalah. Terlalu banyak, melebihi kata tanya yang ada. Makanya kubilang langit takkan muat. Namun ada satu pertanyaan yang tiap malam selalu muncul kala kelopak mata tertutup: "mengapa aku ada?"

"Mengapa aku ada, jika..."
"Mengapa aku ada, padahal..."
"Mengapa aku ada, yang sesungguhnya..."

Dan akhirnya berubah menjadi,"Untuk apa sebenarnya aku ada?"

"Untuk apa aku ada, jika...."
"Untuk apa aku ada, padahal..."
"Untuk apa aku ada, yang sesungguhnya..."


Untuk apa?


Mungkin langitpun sudah jenuh melihatku di bawah sini, mempertanyakan pertanyaan yang sama. Meragukan diri sendiri setiap detik. Tak pernah percaya pada diri sendiri. Tak pernah merasa mampu. Tak pernah mau berusaha berdiri demi diri sendiri. Selalu pasrah pada keadaan. Bukannya kita memang diajarkan untuk menerima keadaan? Ketika saya pasrah mengapa saya salah di mata orang lain? Lalu ketika saya berusaha tidak pasrah, salah juga. Harus apa? Tak tahu. Akhirnya jadi tak mau tahu. Lalu jadi tidak peduli. Lalu dibilang tidak punya hati. Lalu dibilang sombong. Harus apa? Tidak tahu. Tidak mau tahu. 


Aku berusaha menjawab pertanyaanku sendiri. Tapi apa yang didapat? Hujat? Ya. Maki? Ya. Jadi untuk apa. 


Ini hanya sekilas curhatku pada langit sore ini. Saatnya ku kembali menenggelamkan diri pada gelap langit malam ini, dengan pertanyaan yang berbeda. 









No comments:

Post a Comment