Wednesday, December 24, 2014

Segelas Air

Visi ini kabur. Aku hanya mampu melihat segelas air di genggamanku. Apa yang mereka katakan? Ah, ia menyebut namaku. Seorang perempuan berlidah ular berekor babi yang daritadi tak hentinya melaham semua yang ada di hadapannya. Ha, apa yang ia katakan tentang wajahku? Aku tak peduli. Oh, perempuan satunya mengajakku berbicara. Si kepala buaya yang senang bersolek. Aku mengangguk sopan. Perempuan satunya diam saja. Ia menggunakan mantel berbulu domba yang teramat tebal, aku hampir tidak bisa melihatnya, tapi moncongnya yang panjang memang terlalu panjang untuk disembunyikan. Hm, berusaha membodohi orang. Lihat dahinya berkerut-kerut, tiada hentinya melirikku. Aku sontak meliriknya balik. Keji, lirikan matanya. 

Aku tidak ingat sejak kapan mereka duduk di depanku, berusaha menghakimiku dengan gerak-gerik mereka. Aku hanya diam di ujung meja, malas melakukan apa-apa. Makanpun aku tak selera. Berusaha melakukan apapun sedikitpun tidak. Aku tetap memandangi dengan seksama segelas air pada genggamanku. Akupun tidak peduli apa yang mereka katakan tentangku. Ah, si mantel domba kembali melirikku tajam, mendelikkan sedikit moncongnya, hanya sepersekian detik, lalu ia kembali bersembunyi di balik mantelnya, bersandar di belakang si kepala buaya. Ibuku bilang ia iri padaku. Mengapa harus iri? Apa yang bisa diirikan daripadaku? Aneh. 

Si ekor babi masih saja melahap semuanya. Mungkin kalau meja ini bisa ditelan akan ditelannya juga haha. Ia tak lagi menghakimiku, sudah berhenti membicarakan fisikku. Tetiba mengajakku berfoto. Tapi tetap setelah itu mengejekku. Aku tertawa. Sangat kencang. Aku menertawakan dunia. Mereka mendelik. Aku tetap tertawa. Siapa mereka, aku tidak peduli. Aku hanya memandangi segelas air di genggamanku dengan seksama. 

No comments:

Post a Comment