Wednesday, May 8, 2013

"Cinta Brontosaurus"

Cinta Brontosaurus. Judul yang aneh, sama kayak penulisnya.




"Cinta itu bisa kadaluarsa."

Kalo di kehidupan saya sejauh ini, cinta itu tidak kadaluarsa, tapi basi. Beda kan? Kalo kadaluarsa kan bisa setengah tahun, bahkan ada yang sampe setahun lebih. Kalo basi? Yah sehari-dua hari lah, paling lama juga beberapa bulan saja. Dan sejak mantan saya yang terakhir, saya jadi semakin tidak percaya yang namanya cinta, apalagi cinta pandangan pertama.

Saya perempuan, bukan berarti saya tak bisa mengejar orang yang saya sayang, bukan? Ini jaman sudah emansipasi, sudah merdeka. Saya kira saya menemukan cinta saya, maka saya kejar cinta itu. Memangnya salah kalau saya memperjuangkan perasaan saya? Apa saya salah dengan cara saya memperjuangkan cinta saya? Atau... memang cinta itu belum akan ada untuk saya?

Saya memperjuangkan cinta saya, yang pada akhirnya saya bisa mendapatkan cinta saya dan menjalin hubungan yang baik dengannya. Tapi sepanjang perjalanan cinta itu, yang saya dapatkan hanyalah bualan, sifat dingin dan kaku. Hanya manis di awal. Semakin jauh perjalanan ini, cintanya menjadi semakin hambar. Perhatian dari dirinya hanya ia pandang sebagai kewajiban dari seorang kekasih. Saya makin bingung, kenapa perhatiannya pada saya hanya ia pandang sebagai kewajiban seorang kekasih? Apa maksudnya?

Saya sayang padanya. Mungkin ini yang dinamakan cinta pandangan pertama. Itu yang ada di benak saya. Dan saya nyatakan padanya selayaknya yang saya tahu. Saya sayang padanya, tapi ia bertanya, "Mengapa?" Dan saya baru mendapatkan jawabannya saat menonton film ini, dari seorang anak SD, namanya Edgar.

"Emangnya kalo sayang itu butuh alesan?"

Yaa itu juga tak sempat terpikir oleh saya. Tapi memang saya tak ada alasan khusus. Saya hanya sayang, tak tahu mengapa, hanya sayang. Titik.

Bulan terakhir saya menjalin hubungan tersebut, saya mulai bertanya, sebenarnya masihkah ia memiliki rasa untuk saya? Saya tak berani menghubungi dia duluan, karena dia sedang sibuk kuliah. Yang saya dengar semester 5 memang semester tersibuk, dan ia mengakuinya. Maka setiap hari saya tak pernah menghubunginya duluan, terutama di pagi hari karena ia sering pulang malam dan mengerjakan tugas atau belajar sampai subuh, mungkin sampai pagi. Saya tak mau sampai saya dicap sebagai pengganggu. Setiap hari saya dengan sabar menunggunya mendapatkan waktu luang untuk saya. Dengan sabar saya menunggu, menunggu, dan terus menunggu. Sampai pada suatu hari saya merasa ia semakin tak peduli pada saya. Kepedulian yang ia tunjukkan terasa hanya sebagai formalitas. Maka saya datang ke kampusnya, suatu kampus ternama di Depok.

Bukan saya dengan sengaja datang jauh-jauh ke tempat itu, tapi kebetulan saya juga sedang mengikuti kompetisi bahasa Jerman di sana. Sepulang saya dari kompetisi, saya minta ia antarkan saya untuk pulang. Sekarang coba anda pikir. Jika anda memang sayang, tidak mungkin anda membuat seorang wanita menunggu sekian jam sampai malam dan sepi tanpa alasan yang jelas. Sendirian pula. Tega? Ya itulah dia. Saya pikir ia sedang melakukan hal penting atau apalah. Belakangan baru saya ketahui, ternyata ia sedang menyaksikan grup pelakon tari dari jurusannya yang sedang berlatih.

Boleh kita abaikan bagian tadi? Intinya lalu saya pulang diantarkan olehnya, lalu kami tak pernah bertemu lagi sampai detik ini.

Setelah saya menyaksikan film tadi, saya jadi semakin bertanya-tanya, masih adakah cinta yang akan menemui saya? Bukan cinta yang hambar, yang basi, yang jenuh, yang setelah putus seminggu dengan saya bisa dengan mudahnya menjalin hubungan lagi dengan wanita lain yang tidak lain adalah sang pelakon tari yang saya sebutkan tadi.

Sampai detik ini, saya masih tidak tahu apa yang salah dari diri saya. Dulu ia hanya bilang jenuh. Saya menjenuhkan? Tidak, katanya. Lalu mengapa? Apa yang salah dari saya? Pertanyaan ini masih terus menempel di batok kepala saya.

Saya masih percaya cinta, perkara apa itu cinta? Saya tidak tahu. Yang saya tahu pasti, cinta itu layaknya sebuah perahu yang memiliki dua nahkoda yang harus saling melengkapi. Saat badai menghadang, kedua nahkoda itu harus bekerjasama untuk mempertahankan keseimbangan perahu tersebut agar tak tenggelam dalam jurang lautan. Sama seperti cinta yang harus dipertahankan bersama agar tak tenggelam dalam lautan luka dalam, bukan?



No comments:

Post a Comment