Pedih. Pedih menyelimuti, ditusuk keheningan malam. Panas memeluk hati ini.
Kebahagiaanku hanyalah kau. Dan kini, kau pun telah tiada di sisiku lagi.
Dimana kau sekarang. Menjalin cinta baru dengan insan, meninggalkanku sendiri
di sini tanpa ada yang menemani.
Aku memang tidak pernah memaksakan cinta. Untuk apa dipaksakan kalau pada
akhirnya nanti kita akan mendapatkan yang terbaik untuk kita pda waktunya nanti.
Tapi cintamu sangat berharga. Mengapa akhirnya harus begini, setelah kau
memberikan terlalu banyak harapan kepadaku.
Aku masih ingat saat pertama kali kita berjumpa di studio tari itu. Duniaku
seakan runtuh. Masa-masa kelam itu seolah-olah hilang begitu saja, digantikan
oleh langit euforia yang melindungiku dari teriknya matahari yang membakar di
siang bolong. Mungkin itulah yang dinamakan orang jatuh cinta pada pandangan
pertama. Semua seolah begitu indah, seakan tak bisa berhenti tersenyum.
“Mau rekaman juga?” tanya dirinya.
“Hah? Rekaman?” Tanyaku balik.
“Iya rekaman, buat dubbing
Doraemon.”
“Hah?”
“Hahaha bercanda kok.”
Tawanya seakan-akan seperti nyanyian malaikat. Senyum yang dihiasi lesung
pipit di pipi kanannya, sungguh melelehkan hatiku. Aku ingin ikut tertawa, tapi
sepertinya tawaku lebih mirip kuda meringis daripada manis. Jadi aku
senyum-senyum saja.
“Kayaknya gue sering liat lu.” Ujarnya.
“Masa sih? Kok gua gak pernah liat lu ya?”
“Wah, kurang perhatian kali mbak nya haha.”
Duh, tawa itu lagi. “Iya kali ya mas, haha.”
“Adri.” Sambil menjulurkan tangannya, mengajakku bersalaman, “panggil aja
Adri. Jangan mas, nanti disangka office
boy dong.”
“Gue Kasih.” Sambil menjabat tangannya.
“Wow nama yang cantik, sama kayak orangnya.”
Aku seperti kehabisan napas saat itu. Dadaku sesak dipenuhi rasa bahagia
yang meledak-ledak.
“Haha bisa aja mas nya.”
“Duh, Kasih, gue bukan pelayan restoran.”
“Oh iya, sori, maksudnya Adri.” Jawabku sambil berusaha memamerkan senyum
yang paling manis, tetapi, yah, lebh mirip cengiran kuda.
Hari itu kita mengobrol banyak. Mulai dari tari-tarian, musik sampai bahkan
masalah politik ekonomi negara. Aku sih memang tidak mengerti banyak tentang itu,
jadi kalau ada yang aku kurang mengerti, ya ketawa aja.
Sudah 6 bulan sejak kejadian itu. Kita semakin dekat saja. Dia juga menjadi
dekat dengan sahabat-sahabat perempuanku. Aku memang sudah jatuh cinta pada
pandangan pertama, makanya aku sebenarnya ingin sekali menjadi lebih dari teman
dengannya. Mempunyai ikatan khusus yang disebut dengan pacaran. Tetapi
sepertinya dia lebih senang dengan proses pendekatan yang cukup lama. Katanya
biar mengenal aku lebih dalam. Jadi, ya sudah aku terima saja.
Suatu saat, aku dan teman-teman merencanakan akan pergi ke luar kota untuk
beberapa hari, dan mereka memaksaku untuk mengajak Adri juga. Sebenanya sih
tidak apa-apa, toh Adri pun tidak merasa jengah di tengah-tengah kita, jusrtu
dia malah terlihat senang.
Akhirnya kita memutuskan untuk pergi ke pulau seribu, tepatnya di pulau
Umang. Kebetulan salah satu temanku ada yang punya penginapan di sana, makanya kita memutuskan untuk ke sana.
Lumayan kan tempat penginapan yang bagus dan gratis.
Kita menginap selama 3 hari. Selama itu, hubunganku dan Adri terasa semakin
dekat saja, ditambah dengan teman-temanku yang dengan sengaja menjodoh-jodohkan
kita berdua. Aku pura-pura jual mahal, padahal dalam hatiku sudah Aku pura-pura
jual mahal, padahal dalam hatiku, panen bunga sudah meledak-ledak.
Saat sudah pulang dan sampai ke rumah masing-masing, kita melanjutkan
obrolan kita, yang sepertinya tiada habisnya itu, lewat video call. Di tengah-tengah perbincangan tersebut, tiba-tiba Adri
menyatakan padaku dan juga teman-temanku bahwa ia sedang jatuh cinta pada
seorang wanita. Kami semua malah menertawakannya, termasuk aku juga ikut
menertawakannya. Padahal dalam hatiku, aku berharap sekali bahwa wanita yang
disukainya itu adalah aku.
Suatu malam, aku dan Adri berbincang lewat telepon. Kami membicarakan
banyak hal karena sudah jarang ketemu juga walapun di studio tari sekalipun.
Sampai akhirnya aku teringat oleh pengakuan Adri di malam sepulang kita dari
pulau Umang.
“Oh iya ngomong-ngomong, gjmana kabar lu sama cewek itu?” Tanyaku, berusaha
untuk tidak kepedean.
“Wah baik kok, baik banget haha.”
“Kayaknya lagi bahagia banget nih, ada apasih?”
“Iyadong.” Jawabnya diselingi tawa bahagia.
“Tumben jam segini masih bangun, masih bisa nelfon gue. Biasanya baru jam
setengah sembilan aja udah gak sadarkan diri haha.”\
“Iya, masih sms-an sama si ‘dia’. Haha jadi malu deh”
Aku terdiam. Wajahku terasa panas.
“Halo, Kas, masih di sana kan?”
Sesuatu yang hangat mulai membasahi pipiku.
“Kasih? Halo?”
“I..iya”
“Loh lu kenapa?”
“Nggak kok, gak apa-apa. Tiba-tiba sakit perut nih, kayaknya mau datang
bulan.” dustaku.
“Oh gitu, yaudah lu istirahat gih, jangan tidur kemaleman. Take care ya.”
Telpon pun dimatikan tanpa persetujuan dariku. Sepertinya, inilah akhir
dari perjuanganku selama ini. Tujuh bulan perjuanganku untuk berusaha menarik
perhatiannya. Semua berakhir dengan sia-sia. Apa artinya pengrobananku selama
ini. Sepertinya ia bahkan tidak ada rasa sedikitpun denganku sejak awal.
Apalagi mengetahuinya telah menyukai wanita lain setelah aku merasa lebih dekat
dengannya. Sungguh tidak adil.
Sudah satu tahun sejak kejadian itu berlangsung. Tetapi rasa sakit ini
seakan tak mau pergi. Akupun sudah tidak ada napsu untuk menumbuhkan kembali
rasa cinta yang pernah ada padanya, walaupun sekarang ia sudah tidak bersama
wanita itu lagi.
Terlalu cemburu untuk kembali bertemu. Terlalu sakit untuk buatmu kembali
tertarik. Terlalu pilu untuk kembali melihat dirimu. Terlalu letih untuk
kembali mencintai.
No comments:
Post a Comment